RITUAL BULAN SAFAR SESUAI ALQURAN

Di Indonesia, tradisi ritual terhadap bulan tertentu—sesuai kalender hijriah—banyak sekali ditemukan. Sesungguhnya, ritual based on kalender Hijriah – Muharam Safar Rabiulawal, Rabiulakhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijjah—merupakan salah satu cara umat Islam di Indonesia untuk mengingat bahwa kalender Hijriah merupakan time line ibadah dalam bergama. Tidak terkecuali di bulan Safar, masyarakat di daerah Kalimantan mempunyai tradisi ritual pada bulan Safar ini. Masyarakat Kalimantan, khususnya bagian barat, mempunyai kepercayaan pada hitungan pekan keempat safar. Ritualnya berupa Robo-Robo dan mandi safar.
Awalnya, tradisi robo-robo ini memang identik dengan praktik-ritus lokal yang dilakukan oleh masyarakat Mempawah, yakni dengan rentetan tradisi yang dilakukan di hari Senin, Selasa, dan Rabu di bulan Safar – dengan acara inti yaitu doa dan makan bersama di tepi sungai, serta melakukan buang-buang (sisa makanan) sebagai simbol pembuang sial dalam realitas kehidupan yang dijalani. Seiring berjalannya waktu, tradisi robo-robo ini menjelma sebagai tradisi yang mengharuskan adanya ritual mandi di bulan Safar. Ritual ini mempunyai makna tersendiri. Akulturasi budaya dengan kontekstualitas agama dapat dipadukan melalui ritual dari turun temurun.
Setidaknya, penelitian Wendi Parwanto (2024) dalam Fungsionalisasi Al-Qur’an Dalam Tradisi Pekan Keempat Bulan Safar Di Kalimantan Barat menyatakan bahwa Pertama, terdapat per-bedaan pada aspek fungsionalisasi Al-Qur’an dalam tradisi pekan keempat di bulan Safar. Dalam tradisi robo-robo di Dusun Nuguk, Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber informasi dan legalisasi terbentuknya tradisi. Sedangkan dalam tradisi mandi Safar, ayat Al-Qur’an (potongan ayat Al-Qur’an) dijadikan sumber praktik yang diwujudkan secara nyata dalam prosesi pelaksanaan tradisi. Kedua, pada aspek agensi transmisi dan terbentuknya tradisi, dalam tradisi robo-robo di Dusun Nuguk, agensi utama terbentuknya tradisi adalah ayat Al-Qur’an (Āli ‘Imrān [3]: 103). Sedangkan dalam tradisi mandi safar di Parit Deraman Hulu, agensi utama pembentuk tradisinya adalah perilaku elite keagamaan di masa lalu, yakni Syekh Ismail Mundu. Surat Ali Imran ayat 103 berbunyi:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ ١٠٣
Artinya: Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.
Konsensus dari akulturasi budaya telah melahirkan pemaknaan secara harfiah tentang ritual di bulan Safar. Tidak serta-merta sebuah tradisi akan lahir begitu saja. Tentu ada garis geografis dan adat istiadat setempat. Tidak pula kita pungkiri bahwa ajaran agama Islam juga lahir dari sebuah ketentuan geografis dan adat istiadat. Rasulullah saw. diturunkan di Arab dikarenakan mayoritas penduduknya masih cenderung abnormal pada zamannya. Pengkultusan terhadap berhala serta menghalalkan hukum rimba, menjadi alasan sahih diutusnya seorang Nabi Muhammad. Sehingga sumber hukum primer Islam juga banyak mengulas ekosistem dan adat Arab. Tidak heran memang, kecenderungan akar budaya bisa ditracking oleh Alquran begitu indah dan terstruktur. Begitu pula cabang disiplin ilmu yang mengulas tentang hukum syariat yang bermuara dari Alquran dan Alhadits. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih “al-âdatu muhakkamah”, yang artinya sebuah adat bisa dijadikan hukum.